Minggu, 19 Mei 2013

BEHAVIOUR FOR US KEPRIBADIAN = BERPIKIR + BERSIKAP


oleh : Lidia Fuji Rahayu (sek. kaderisasi IMM Ibn Khaldun Bogor)
            KEHIDUPAN yang kita jalani ini banyak dihiasi dengan berbagi macam fenomena prilaku manusia. Coba deh, kita flash back hari ini aja, berapa macam tingkah manusia yang kita jumpai? Dari mulai anak-anak sekolahan yang gila tawuran. Ibu penjual asongan yang tetap giat cari uang di tenga hujan. Cowok gagah yang enggan ngasih tempat duduk buat ibu hamil yang kepayahan. Manusia yang cuek bebek ngerokok padahal jelas orang-orang di depan, di kanan, dan di sebelah kirinya megap-megap di tengah kepulan asap rokoknya yang pekat. Manusia yang gampang naik darah Cuma karena enggak sengaja kepalanya tersenggol tas orang lain. Manusia yang murah senyum. Manusia jutex. Manusia yang super tega yang nyopet dompet yang isinya sebenarnya enggak seberapa. Manusia yang masih mau menyempatkan waktu untuk shalat, untuk sujud di tenga hiruk pikuk manusia lainnya yang sibuk. Manusia yang jujur yang mau mengembalikan uang kembalian beli bakwan yang kelebihan. Manusia yang begini, begitu. Tingkah polah yang kadang menyenangkan, kadang bikin sebal. Kita sih pasti pengennya selalu sesuai dengan kenyataan. Lebih bahaya lagi kalau kita ternyata makhluk yang menyebalkan itu.  Waah enggak boleh dibiarin. Kita harus segera mendiaognosis diri nih, nih. Bener nggak ya? Asal tahu saja, atau behaviour kita itu menjadi cermin kepribadian, lho. Kualitas kepribadian bisa terlihat dari tingkah laku. Behaviour is reflection of personality . bahasa udiknya sih gitu. J
            Makanya, ini saatnya kita menganalisis kepribadian kita lebih komplit. Jangan nunggu entar. Jangan sampai kita salah menilai orang. Kita juga kan yang akan  menanggung kerugian. Sebaliknya, yang lebih naas kalo kita yang menimbulakan banyak “korban” akibat kepribadian kita yang enggak mutu. Pastinya ngga mau .

Kepribadian = Berpikir + Bersikap
            Nah, bicara soal kepribadian, baik atau nggak baik, tiap orang bisa punya standar sendiri-sendiri. Ada yang bilang baik atau buruknya kepribadian seseorang bisa diukur dari performa otaknya. Kalau yang setara Einstein berarti kepribadiannya baik dan sebaliknya kalau yang sering nge-hang kayak Oneng berartikepribadiannya buruk. Kalau ada teman kita yang nilainya selalu ngepas dinilai minimum padahal doski emang udah berjuang habis-habisan untuk meraih nilai itu, eggak pake’ nyontek. Engga pake’ nyogok, terus apa berarti kepribadiannya buruk? Kalau kepribadian manusia dinilai dengan standar yang seperti itu Charles Darwin si “Manusia Monyet” bisa-bisa dianggap manusia berkepribadian teragung dong karena kepintarannya (atau kebodohan?) membuat teori Evolusi yang mendunia. Hmmmm..., engak valid, deh. Sebagian orang yang lain mengklasifikasikan kepribadian seseorang dari penampilan fisiknya; kecantikan, keanggunan, ketampanan. Karen Dion. Ellen Berscheid, dan Elaine Waltser (1972: 285-290 dalam Republika.co.id) meneliti pengaruh stereotif ini: apakah penampilan menarik atau tidak menarik menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Aapakah orang yang cantik cenderung dianggap berprilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya?
            Mereka memperlihatkan tiga buah foto kepada para mahasiswa undergraduate . foto pertama menunjukkan orang yang cantik. Kedua rata-rata, dan ketiga berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan memberi penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi angket ukuran kepribadian orang dalam foto itu. Kemudian mereka harus memperkirakan kemungkinan perkawinannya dan keberhasilan dalam karier.
            Subjek-subjek eksperimen terbukti menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya, dan lebih mungkin berhasil memperoleh pekerjaan yang baik, ketimbang rekan-rekannya yang berwajah jelek. Wah, berarti orang (yang dianggap) jelek dinilai enggak punya masa depan cerah! Kok bisa?
            Lebih parah lagi nih, kalau penilaian disandarkan pada hal-hal seperti itu. Madonna bisa-bisa dianggap lebih tinggi daripada Saudah binti Zum’ah r.a. istri Rasulullah atau Bilal r.a. sahabat Rasulullah ditempatkan di level lebih buncit dibandingkan Bradd Pitt. Wah, bisa kacau dunia. Para wanita cantik dan pria tampan akan dengan mudahnya mendapat predikat seseorang dengan kepribadian menawan, sedangkan yang punya wajah standar siap-siap aja dicap sebagai pecundang. Enggak fair  gitu, Lho. Padahal belum tentu yang cantik atau yang tampan bisa menampilkan perilaku yang menyenangkan. Si cantik tukang ngegosip, atau si tampan ternyata tukang edar barang haram, misalnya, apa iya lebih baik daripada si wajah seribu jerawat yang rajin shalat dan mengingatkan orang lain untuk shalat atau si hitam legam yang selalu bersemangat mengamalkan Al-Qur’an? Coba deh kita pikirin bareng-bareng.
            Apalagi kalau ada yang mengait-ngaitkan level kepribadian dengan latar belakang suku. Cetek banget. Orang Batak yang terkenal dengan logat bicaranya yang keras bukan berarti dia pasti berkepribadian buruk atau sebaliknya. Orang Jawa yang terkenal dengan cara berbahasa yang lembut enggak dijamin juga kepribadiannya baik.
            Gimana dengan karakter yang kita punya? Kita yang pemalu, kita yang gampang adaptasi dengan lingkungan baru, yang lucu, yang serius, yang keras, yang lembut, dan seterusnya. Apa itu semua menunjukkan kepribadian yang kita punya? Kita mesti hati-hati. Orang yang pemalu enggak dijamin punya kepribadian yang baik kalau gara-gara sifat pemalunya itu dia menarik diri dari pergaulan dan enggak punya keberanian untuk menyuarakan kebenaran.
            Orang yang berkarakter keras juga enggak lantas bisa dicap kualitas kepribadiannya rendah kalau ternyata dengan karakternya itu dia berani mempertahankan kebenaran. Karakter memang bukan kepribadian dan enggak bisa dijadikan standar tinggi rendahnya kepribadian, tetapi karakter akan selalu menyertai dan mewarnai proses yang dijalani seseorang dalam membangun kepribadian.
            Jadi, tinggi rendahnya kualitas kepribadian sama sekali enggak ada hubungannya dengan level kecerdasan, kecantikan or ketampanan, apalagi dengan logat bahasa. Sama sekali enggak ada ! kepribadian seperti yang udah disampaikan sebelumnya, sebenarnya tercermin dari perilaku. Tingkah laku or perbuatan, itu yang kita jadikan patokan. Sedangkan tingkah laku sendiri sangat terkait dengan jalan pikiran yang kita miliki.
            Kita perhatiin deh yang ini. Sebagai manusia, kita melakukan sesuatu pastinya karena menurut pemikiran kita sesuatu itu layak untuk dilakukan. Berpikir lalu mengambil sikap. Kemudian muncul sebuah aksi.
            Seperti itulah sebenarnya manusia menjalani proses kehidupannya. Siapapun manusianya, dimanapun dia berada pasti menjalani proses yang serupa. Se-instan apapun perbuatan yang terlihat pasti melalui sebuah proses berpikir, walaupin sangat singkat dan berpeluang tidak akurat.
            Seseorang yang berpikir bahwa “waktu adalah uang” pasti akan berusaha sekuat tenaga memanfaatkan waktu yang ada untuk mendapatkan keuntungan secara materi sebanyak-banyaknya. Materi enggak selalu uang. Penampakannya bisa macam-macam. Misalnya, nilai di sekolah. Setiap saat, setiap detik dihitung senagai peluang mendapatkan materi. Kayaknya dunia menjadi sesak ketika waktu berjalan tanpa materi yang sepadan. Kerja siang malam, belajar banting tulang untuk mendapatkan uang banyak atau nilai yang tinggi. Urusan akhirta dikerjakan di sisa waktu. Itu kalau ada. Tepatnya, sih, kalau do’i inget. Bisa jadi di sisa waktu yang ada pun urusan akhirat tetap enggak diingat. Aktivitas baca Al-Qur’an, shalat, udah... blasss.... lewat.
            Beda dengan orang yang punya pemikiran bahwa “waktu adalah pedang.” Dia pasti memperlihatkan action yang berbeda. Orang tipe begini bakal fight untuk memanfaatkan waktu denagn layak, enggak Cuma untuk urusan dunia tapi juga akhirat. Setiap detik dijaga agar tidak lepas dari nilai ibadah, walaupun hanya untuk urusan minum atau makan.

            Kepribadian manusia tercermin dari proses yang seperti itu, bagaimana dia berpikir tentang sesuatu. Other words, kepribadian (syaksiyah) terbangun atas aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Tinggi rendahnya kualitas kepribadian seseorag diukur berdasarkan tinggi rendakhnya kualitas berpikir dan bersikapnya itu.

Manusia Berkepribadian Istimewa, Yang Gimana?
            Sekarang persoalannya, aqliyah dan nafsiyah yang berkualitas super tuh yang gimana? Berpikir dan bersikap seperti apa yang bisa kita sebut manusia berkepribadian istimewa? Kepribadian yang istimewa kan bisa bikin kita jadi seseorang yang istimewa juga.
            Untuk menjawab pertanyaan ini enggak bisa sembarangan. Apalagi lebih pake perasaan. Enggak valid! Kita kudu punya penuntun yang akurat dan tepat dalam menentukan yang baik itu seperti apa. Supaya enggak terjebak dannantinya enggak salah pilih.
            Sebagai manusia kita enggak bisa menentukan mana yang baik atau buruk, tinggi atau rendahnya kepribadian seseorang atas dasar sudut pandang pribadi sebagai manusia semata. Kita tuh banyak kelemahan, punya banyak keterbatasan, Zat pemilik jagad raya, empunya manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu Allah subhanAllahu ta’ala. Allah-lah satu-satunya zat yang dapat dan berhak untuk memberikan petunjuk yang akurat, dan melalui Rasulullah saw. Kia diberitahukan cara pelaksanaan petunjuk itu yang tepat.
            So, wajar banget kalau kita yang pengen punya kepribadian yang memesona kudu melandaskanpola pikir dan pola sikap berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. Jika landasan keimanan semakin kuat, kualitas kepribadian semakin prima. Sebaliknya kalau keimana semakin pudar dan warna selain Islam yang semakin kental, kualitas kepribadian pun akan menuju titik nol besar.
            Kita lihat, deh, diri kita sekarang. Ukur-ukur diri, gitu. Udah cukup punya modal untuk kepribadian istimewa belum, ya? Jadi muslimah, udah. Kenal Allah, pasti. Kenal Rasullah Muhammad, lumayan. Bekal pelajaran agama waaktu SD masih nyisa. But, sayangnya untuk punya kepribadian istimewa enggak cukup dengan modal yang segitu doang. Mesti lebih. Namanya, wajar, dong, kita ngeluaran usaha lebih besar.
            Kemusliman kita adalah modal awal yang sangat berharga untuk punya kepribadian yang istimewa. Enggak bisa digantikan dengan apapun di dunia. Aqidah Islam yang kita miliki adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah kepada para manusia. Kita mesti jaga seumur hidup kita.
            Langkah selanjutnya adalah dengan menjadikan aqidah Islam tersebut menjadi landasan dalam berpikir dan bersikap. Selalu always. Enggak pernah, never. Berta? Emang. Apalagi di zaman yang seperti sekarang ini ketika kehidupan berlimpah uang selalu jadi angan. Ketika kebahagiaan denagn meraih ketenaran dan menjadi pujaan dunia menjadi cita-cita. Orang yang berusaha alim malah dinilai norak. Dunia saat ini, rayuannya emang dahsyat. Godaannya banyak. Tapi, semua itu bukan hal yang mustahil untuk dikalahkan.
            Selama Islam jadi aqidah dan selama aqidah itu yang jadi standar hidup kita, kepribadian istimewa udah bertunas dalam diri. Seterusnya tinggal kita yang memelihara dan mengembangkannya. Supaya kita bisa survive menghadapi segala macam bentuk godaan ayng bisa meruntuhkan iman.
            Jelas, deh, sekarang kalau kepribadian istimewa itu adalah kepribadian Islami. Berarti setiap muslim sebenarnya sudah punya tunasnya di setiap diri mereka, kita juga. Namun, seringkali untuk meraih kepribadian yang istimewa jalannya pasti berliku. Apalaagi untuk mempertahankannya, godaannya pasti lebih besar.
            Biasanya perbuatan-perbuatan yang kental “bau” surganay banyak banget tantangannya. Untuk mempertahankan dan memeliharanya perlu keikhlasan niat dan cara yang tepat. Karena kepribadian itu terbangn atas aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap), yang mesti dibenahi, dipertahankan, lalu dikembangkan adalah dua hal tersebut. So, supaya kepribadian yang sudah bertunas semakin berkembang dan semakin berkilau meancar, aqliyah dan nafsiyah islamiah-nya yang mesti terus diasah. Gimana? Ini dia!

a.    Mengasah Cara berpikir Islami
Aqliyah Islamiyah atau berpikir Islami bisa semakin berkembang jika kita mau terus mempelajari materi-materi keislaman. Kalau sekarang kita cuma punya kesempatan mempelajari Islam sekali seminggu, itupun karena ada jadwal pelajaran agama di sekolah, kita harus menambah frekuensinya, jika kita memang ingin punya kualitas aqliyah yang semakin baik.
Kita harus mulai mempunyai jadwal belajar Islam yang teratur. Jangan hanya mengandalkan sekolah atau tempat kuliah untuk memberikannya buat kita. Kita sendiri yang sekarang harus mulai mencari dan memperkuat niat untuk mempelajari Islam dan memahaminya. Pemahaman yang akan membawa kita kepada sebuah keyakinan, dan keyakina yang akan menggerakkan kita untuk mengamalkan.
            Kalau saat ini kita merasa enggak yakin dengan Islam, walaupun kita beragama Islam, itu bisa jadi karena kita tidak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Kita tidak paham Islam yang sebenarnya seperti apa, sehingga tidak membuat kita yakin terhadap Islam, dan akhirnya menjadi gamang untuk mengamalkan Islam dalam kehidupan atau bahkan tidak merasa harus menggunakan Islam untuk memecahkan suatu permasalahan. Bahaya banget kalau memang itu yang terjadi pada diri kita. Kita sudah punya senjata itu ketika menghadapi problema.
Kita yang semakin ber-aqliyah Islamiyah akan selalu mau untuk berpikir tentang sebuah fakta secara Islami. Kita semakin kritis, enggak mau hanya menjadi “tong sampah” atau “kambing congek” dalam menhadapi sebuah problema.
sebuah fakta yang kita pahami dengan Islam sebagai filternya akan jelas dan terang output-nya, benar atau salah, bukan setengah benar atau setengah salah. Karena dalam Islam enggak ada yang setengah-setengah.

b.      Mengasah Sikap Islami
Untuk punya nafsiyah Islamiyah atau mampu untuk terus bersikap secara Islami, caranya tidak lain dan tidak bukan dengan bertaqarrub Illahi (beendekatkan diri pada Allah). Kita mengerjakan amal yang bisa membuat kita semakin dekat denagn Allah. Ya, pastinya kalau ingin dengan Allah, amalnya harus sesuai dengan keinginan Allah, dong. Contohnya: shalat wajibmaupun sunnah, sedekah, membantu anak yatim, membaca Al-Qur’an, mengeluarkan zakat, puasa, belajat Islam, atau bentuk ketaatan lainnya.
Terus, jangan dekat-dekat dengan perbuatan yang dilarang Allah. Sekali dekat, pengennya berbuat. Wah, bisa berabe urusannya. Kita akan semakin sulit untuk dekat dengan Allah. Kalau enggak dekat gimana kita bisa punya pola sikap yang mantap?
Intinya, sih, bersikap Islami ini akan semakin terasah seiring dengan semakin konsistennya kita menyelaraskan setiap perbuatan kita denagn Islam.
Rasulullah saw. Bersabda,

“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian, hingga dia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa (Islam) yang kubawa.” (HR. An-Nawawi)

Rasulullah saw. Bersabda dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman,

“Dan tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih Kusukai daripada menjalankan kewajibannya. Dan tidak ada henti-hentinya seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunnah-sunnah nafilah, sehingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya yang dia melihat dengannya, dan Aku akan menjadi tangannya yang dia pergunakan, dan Aku akan menjadi tangannya yang dia pergunakan, dan Aku akan menjadi kakinya yang dia berjalan dengannya.” (HR Bukhari)

Indah banget, ya, kalau kita bisa begitu. Nah, untuk menuju ke sana yang memang tidak mudah, perlu kebulatan tekad untuk memulainya. Banyak kok, orang yang sudah berhasil. Lihat sejkeliling kita, mereka manusia, dan kita juga manusia. Mereka makan, minum, dan tidur. Kita pun melakukan hal yang sama. Kalau meeka bisa menjadi sosok dengan kepribadian menawan, kepribadian Islam, lalau kenapa kita harus rela ketinggalan?

Manusia Istimewa = Berkepribadian mulia tapi Bukan Malaikat
Manusia berkepribadian Islami adalah seseorang yang berkepribadian mulia. Orang yang berkepribadian mulia pastinya adalah orang yang istimewa. Cuma yang perlu kita inget, seseorang yang berkepribadian istimewa bukan berarti orang yang suci dari dosa, yang sempurna, enggak pernah berbuat salah.
Kita tahu persis manusia enggaka ada yang sempurna, pasti ada aja salahnya.
Jadi, salah besar kalau ada yang menganggap laki-laki/perempuan yang alim itu malaikat. Dia enggak boleh salah, enggak boleh khilaf. Sekali salah, kayaknya seisi dunia enggak pantes lagi buat dia. Ya enggak, dong.
Kita pasti pernah berbuat salah. Sering malah. Cuma satu hal yang membedakan. Manusia dengan kepribadian istimewa dengan yang belum. Manusia tipe begini akan langsung sujud tobat ketika sadar berbuat salah. Enggak bakal deh dia tahan atau bahkan merasa nyaman berlama-lama dalam kesalahan. Maunya Istighfar terus dan memperbaiki diri dari hari ke hari.
Manusia tipe begini akan lebih memilih untuk sering-sering kumpul di lingkungan yang memberikan pencerahan dan penyegaran bagi kondisi keimanan, sehingga bisa terus menjaga kualitas kepribadian berada dalam level prima. Tapi, bukan berarti dia kuper dan menjadi sosok yang eksklusif. Enggak. Dia tidak menghindar untuk berinteraksi dengan lingkungan yang lain. Dia bahkan berusaha untuk menjadi teladan bagi yang lain. Tentunya bukan karena ingin disanjung, tapi lebih karena semata-mata menjalankan titah Allah SWT dan Radul-Nya.
Bahagia pastinya kalau kita punya sahabat yang seperti itu, yang bisa menjadi teladan buat kita, yang menjadi penerang bagi jalan hidup kita. Lebih bahagia lagi, kalau kita bisa seperti dia, bisa ikut berperan mempersembahkan secercah cahaya bagi kehidupan mauisia, dari yang terdekat sampai ke belahan dunia lainnya.
Khayalan? Bukan. Islam sudah ada di tangan, tinggal kita yang tentukan akan ke arah mana kehidupan ini akan kita jalankan. Apakah kita memilih untuk rela Islam mengubah kita menjadi sosok manusia berkepribadian mulia atau memilih untuk tetap menjadi Muslim dan Muslimah cantik, tampan dan pintar tapi berkepribadian yang minim warna iman?
Pilihan terbuka buat kita semua. Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang masih tersisa. Tentunya kita enggak mau kehilangan kesempatan berharga untuk menjadi manusia berkepribadian mulia, menjadi manusia yang istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar