oleh : Lidia Fuji Rahayu (sek. kaderisasi IMM Ibn Khaldun Bogor)
KEHIDUPAN yang kita jalani ini
banyak dihiasi dengan berbagi macam fenomena prilaku manusia. Coba deh, kita
flash back hari ini aja, berapa macam tingkah manusia yang kita jumpai? Dari
mulai anak-anak sekolahan yang gila tawuran. Ibu penjual asongan yang tetap
giat cari uang di tenga hujan. Cowok gagah yang enggan ngasih tempat duduk buat
ibu hamil yang kepayahan. Manusia yang cuek bebek ngerokok padahal jelas
orang-orang di depan, di kanan, dan di sebelah kirinya megap-megap di tengah
kepulan asap rokoknya yang pekat. Manusia yang gampang naik darah Cuma karena
enggak sengaja kepalanya tersenggol tas orang lain. Manusia yang murah senyum.
Manusia jutex. Manusia yang super tega yang nyopet dompet yang isinya
sebenarnya enggak seberapa. Manusia yang masih mau menyempatkan waktu untuk
shalat, untuk sujud di tenga hiruk pikuk manusia lainnya yang sibuk. Manusia
yang jujur yang mau mengembalikan uang kembalian beli bakwan yang kelebihan.
Manusia yang begini, begitu. Tingkah polah yang kadang menyenangkan, kadang
bikin sebal. Kita sih pasti pengennya selalu sesuai dengan kenyataan. Lebih
bahaya lagi kalau kita ternyata makhluk yang menyebalkan itu. Waah enggak boleh dibiarin. Kita harus segera
mendiaognosis diri nih, nih. Bener nggak ya? Asal tahu saja, atau behaviour
kita itu menjadi cermin kepribadian, lho. Kualitas kepribadian bisa terlihat
dari tingkah laku. Behaviour is reflection of personality . bahasa
udiknya sih gitu. J
Makanya, ini saatnya kita
menganalisis kepribadian kita lebih komplit. Jangan nunggu entar. Jangan sampai
kita salah menilai orang. Kita juga kan yang akan menanggung kerugian. Sebaliknya, yang lebih
naas kalo kita yang menimbulakan banyak “korban” akibat kepribadian kita yang
enggak mutu. Pastinya ngga mau .
Kepribadian =
Berpikir + Bersikap
Nah, bicara soal kepribadian, baik
atau nggak baik, tiap orang bisa punya standar sendiri-sendiri. Ada yang bilang
baik atau buruknya kepribadian seseorang bisa diukur dari performa otaknya.
Kalau yang setara Einstein berarti kepribadiannya baik dan sebaliknya kalau
yang sering nge-hang kayak Oneng berartikepribadiannya buruk. Kalau ada
teman kita yang nilainya selalu ngepas dinilai minimum padahal doski emang udah
berjuang habis-habisan untuk meraih nilai itu, eggak pake’ nyontek. Engga pake’
nyogok, terus apa berarti kepribadiannya buruk? Kalau kepribadian manusia
dinilai dengan standar yang seperti itu Charles Darwin si “Manusia Monyet”
bisa-bisa dianggap manusia berkepribadian teragung dong karena kepintarannya
(atau kebodohan?) membuat teori Evolusi yang mendunia. Hmmmm..., engak valid,
deh. Sebagian orang yang lain mengklasifikasikan kepribadian seseorang dari
penampilan fisiknya; kecantikan, keanggunan, ketampanan. Karen Dion. Ellen
Berscheid, dan Elaine Waltser (1972: 285-290 dalam Republika.co.id) meneliti
pengaruh stereotif ini: apakah penampilan menarik atau tidak menarik
menimbulkan asumsi-asumsi tertentu? Aapakah orang yang cantik cenderung
dianggap berprilaku baik atas dasar kemungkinan sukses dalam hidupnya?
Mereka memperlihatkan tiga buah foto
kepada para mahasiswa undergraduate . foto pertama menunjukkan orang
yang cantik. Kedua rata-rata, dan ketiga berwajah jelek. Mahasiswa diharuskan
memberi penilaian tentang kepribadian orang dalam foto itu dengan mengisi
angket ukuran kepribadian orang dalam foto itu. Kemudian mereka harus
memperkirakan kemungkinan perkawinannya dan keberhasilan dalam karier.
Subjek-subjek eksperimen terbukti
menilai orang cantik lebih bahagia dalam pernikahannya, dan lebih mungkin
berhasil memperoleh pekerjaan yang baik, ketimbang rekan-rekannya yang berwajah
jelek. Wah, berarti orang (yang dianggap) jelek dinilai enggak punya masa depan
cerah! Kok bisa?
Lebih parah lagi nih, kalau penilaian
disandarkan pada hal-hal seperti itu. Madonna bisa-bisa dianggap lebih tinggi
daripada Saudah binti Zum’ah r.a. istri Rasulullah atau Bilal r.a. sahabat
Rasulullah ditempatkan di level lebih buncit dibandingkan Bradd Pitt. Wah, bisa
kacau dunia. Para wanita cantik dan pria tampan akan dengan mudahnya mendapat
predikat seseorang dengan kepribadian menawan, sedangkan yang punya wajah
standar siap-siap aja dicap sebagai pecundang. Enggak fair gitu, Lho. Padahal belum tentu yang
cantik atau yang tampan bisa menampilkan perilaku yang menyenangkan. Si cantik
tukang ngegosip, atau si tampan ternyata tukang edar barang haram, misalnya,
apa iya lebih baik daripada si wajah seribu jerawat yang rajin shalat dan
mengingatkan orang lain untuk shalat atau si hitam legam yang selalu
bersemangat mengamalkan Al-Qur’an? Coba deh kita pikirin bareng-bareng.
Apalagi kalau ada yang
mengait-ngaitkan level kepribadian dengan latar belakang suku. Cetek banget.
Orang Batak yang terkenal dengan logat bicaranya yang keras bukan berarti dia
pasti berkepribadian buruk atau sebaliknya. Orang Jawa yang terkenal dengan
cara berbahasa yang lembut enggak dijamin juga kepribadiannya baik.
Gimana dengan karakter yang kita
punya? Kita yang pemalu, kita yang gampang adaptasi dengan lingkungan baru,
yang lucu, yang serius, yang keras, yang lembut, dan seterusnya. Apa itu semua
menunjukkan kepribadian yang kita punya? Kita mesti hati-hati. Orang yang
pemalu enggak dijamin punya kepribadian yang baik kalau gara-gara sifat
pemalunya itu dia menarik diri dari pergaulan dan enggak punya keberanian untuk
menyuarakan kebenaran.
Orang yang berkarakter keras juga
enggak lantas bisa dicap kualitas kepribadiannya rendah kalau ternyata dengan
karakternya itu dia berani mempertahankan kebenaran. Karakter memang bukan
kepribadian dan enggak bisa dijadikan standar tinggi rendahnya kepribadian,
tetapi karakter akan selalu menyertai dan mewarnai proses yang dijalani
seseorang dalam membangun kepribadian.
Jadi, tinggi rendahnya kualitas
kepribadian sama sekali enggak ada hubungannya dengan level kecerdasan,
kecantikan or ketampanan, apalagi dengan logat bahasa. Sama sekali enggak ada !
kepribadian seperti yang udah disampaikan sebelumnya, sebenarnya tercermin dari
perilaku. Tingkah laku or perbuatan, itu yang kita jadikan patokan. Sedangkan
tingkah laku sendiri sangat terkait dengan jalan pikiran yang kita miliki.
Kita perhatiin deh yang ini. Sebagai
manusia, kita melakukan sesuatu pastinya karena menurut pemikiran kita sesuatu
itu layak untuk dilakukan. Berpikir lalu mengambil sikap. Kemudian muncul
sebuah aksi.
Seperti itulah sebenarnya manusia
menjalani proses kehidupannya. Siapapun manusianya, dimanapun dia berada pasti
menjalani proses yang serupa. Se-instan apapun perbuatan yang terlihat
pasti melalui sebuah proses berpikir, walaupin sangat singkat dan berpeluang
tidak akurat.
Seseorang yang berpikir bahwa “waktu
adalah uang” pasti akan berusaha sekuat tenaga memanfaatkan waktu yang ada
untuk mendapatkan keuntungan secara materi sebanyak-banyaknya. Materi enggak
selalu uang. Penampakannya bisa macam-macam. Misalnya, nilai di sekolah. Setiap
saat, setiap detik dihitung senagai peluang mendapatkan materi. Kayaknya dunia
menjadi sesak ketika waktu berjalan tanpa materi yang sepadan. Kerja siang
malam, belajar banting tulang untuk mendapatkan uang banyak atau nilai yang
tinggi. Urusan akhirta dikerjakan di sisa waktu. Itu kalau ada. Tepatnya, sih,
kalau do’i inget. Bisa jadi di sisa waktu yang ada pun urusan akhirat tetap
enggak diingat. Aktivitas baca Al-Qur’an, shalat, udah... blasss.... lewat.
Beda dengan orang yang punya
pemikiran bahwa “waktu adalah pedang.” Dia pasti memperlihatkan action yang
berbeda. Orang tipe begini bakal fight untuk memanfaatkan waktu denagn
layak, enggak Cuma untuk urusan dunia tapi juga akhirat. Setiap detik dijaga
agar tidak lepas dari nilai ibadah, walaupun hanya untuk urusan minum atau
makan.
Kepribadian manusia tercermin dari
proses yang seperti itu, bagaimana dia berpikir tentang sesuatu. Other
words, kepribadian (syaksiyah) terbangun atas aqliyah (pola
pikir) dan nafsiyah (pola sikap). Tinggi rendahnya kualitas kepribadian
seseorag diukur berdasarkan tinggi rendakhnya kualitas berpikir dan bersikapnya
itu.
Manusia Berkepribadian Istimewa, Yang Gimana?
Sekarang persoalannya, aqliyah
dan nafsiyah yang berkualitas super tuh yang gimana? Berpikir dan
bersikap seperti apa yang bisa kita sebut manusia berkepribadian istimewa?
Kepribadian yang istimewa kan bisa bikin kita jadi seseorang yang istimewa
juga.
Untuk menjawab pertanyaan ini enggak
bisa sembarangan. Apalagi lebih pake perasaan. Enggak valid! Kita kudu punya
penuntun yang akurat dan tepat dalam menentukan yang baik itu seperti apa.
Supaya enggak terjebak dannantinya enggak salah pilih.
Sebagai manusia kita enggak bisa
menentukan mana yang baik atau buruk, tinggi atau rendahnya kepribadian
seseorang atas dasar sudut pandang pribadi sebagai manusia semata. Kita tuh
banyak kelemahan, punya banyak keterbatasan, Zat pemilik jagad raya, empunya
manusia dan makhluk hidup lainnya yaitu Allah subhanAllahu ta’ala. Allah-lah
satu-satunya zat yang dapat dan berhak untuk memberikan petunjuk yang akurat,
dan melalui Rasulullah saw. Kia diberitahukan cara pelaksanaan petunjuk itu
yang tepat.
So, wajar banget kalau kita yang
pengen punya kepribadian yang memesona kudu melandaskanpola pikir dan pola
sikap berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. Jika landasan keimanan semakin
kuat, kualitas kepribadian semakin prima. Sebaliknya kalau keimana semakin
pudar dan warna selain Islam yang semakin kental, kualitas kepribadian pun akan
menuju titik nol besar.
Kita lihat, deh, diri kita sekarang.
Ukur-ukur diri, gitu. Udah cukup punya modal untuk kepribadian istimewa belum,
ya? Jadi muslimah, udah. Kenal Allah, pasti. Kenal Rasullah Muhammad, lumayan.
Bekal pelajaran agama waaktu SD masih nyisa. But, sayangnya untuk punya kepribadian
istimewa enggak cukup dengan modal yang segitu doang. Mesti lebih. Namanya,
wajar, dong, kita ngeluaran usaha lebih besar.
Kemusliman kita adalah modal awal
yang sangat berharga untuk punya kepribadian yang istimewa. Enggak bisa
digantikan dengan apapun di dunia. Aqidah Islam yang kita miliki adalah
anugerah terindah yang diberikan oleh Allah kepada para manusia. Kita mesti
jaga seumur hidup kita.
Langkah selanjutnya adalah dengan
menjadikan aqidah Islam tersebut menjadi landasan dalam berpikir dan bersikap. Selalu
always. Enggak pernah, never. Berta? Emang. Apalagi di zaman yang
seperti sekarang ini ketika kehidupan berlimpah uang selalu jadi angan. Ketika
kebahagiaan denagn meraih ketenaran dan menjadi pujaan dunia menjadi cita-cita.
Orang yang berusaha alim malah dinilai norak. Dunia saat ini, rayuannya emang
dahsyat. Godaannya banyak. Tapi, semua itu bukan hal yang mustahil untuk
dikalahkan.
Selama Islam jadi aqidah dan selama
aqidah itu yang jadi standar hidup kita, kepribadian istimewa udah bertunas
dalam diri. Seterusnya tinggal kita yang memelihara dan mengembangkannya.
Supaya kita bisa survive menghadapi segala macam bentuk godaan ayng bisa
meruntuhkan iman.
Jelas, deh, sekarang kalau
kepribadian istimewa itu adalah kepribadian Islami. Berarti setiap muslim
sebenarnya sudah punya tunasnya di setiap diri mereka, kita juga. Namun,
seringkali untuk meraih kepribadian yang istimewa jalannya pasti berliku.
Apalaagi untuk mempertahankannya, godaannya pasti lebih besar.
Biasanya perbuatan-perbuatan yang
kental “bau” surganay banyak banget tantangannya. Untuk mempertahankan dan
memeliharanya perlu keikhlasan niat dan cara yang tepat. Karena kepribadian itu
terbangn atas aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap),
yang mesti dibenahi, dipertahankan, lalu dikembangkan adalah dua hal tersebut.
So, supaya kepribadian yang sudah bertunas semakin berkembang dan semakin berkilau
meancar, aqliyah dan nafsiyah islamiah-nya yang mesti terus
diasah. Gimana? Ini dia!
a. Mengasah
Cara berpikir Islami
Aqliyah Islamiyah atau berpikir Islami bisa semakin berkembang jika
kita mau terus mempelajari materi-materi keislaman. Kalau sekarang kita cuma
punya kesempatan mempelajari Islam sekali seminggu, itupun karena ada jadwal
pelajaran agama di sekolah, kita harus menambah frekuensinya, jika kita memang
ingin punya kualitas aqliyah yang semakin baik.
Kita harus mulai mempunyai jadwal belajar Islam yang teratur.
Jangan hanya mengandalkan sekolah atau tempat kuliah untuk memberikannya buat
kita. Kita sendiri yang sekarang harus mulai mencari dan memperkuat niat untuk
mempelajari Islam dan memahaminya. Pemahaman yang akan membawa kita kepada
sebuah keyakinan, dan keyakina yang akan menggerakkan kita untuk mengamalkan.
Kalau saat ini
kita merasa enggak yakin dengan Islam, walaupun kita beragama Islam, itu bisa
jadi karena kita tidak mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Kita
tidak paham Islam yang sebenarnya seperti apa, sehingga tidak membuat kita
yakin terhadap Islam, dan akhirnya menjadi gamang untuk mengamalkan Islam dalam
kehidupan atau bahkan tidak merasa harus menggunakan Islam untuk memecahkan
suatu permasalahan. Bahaya banget kalau memang itu yang terjadi pada diri kita.
Kita sudah punya senjata itu ketika menghadapi problema.
Kita yang semakin ber-aqliyah Islamiyah akan selalu mau
untuk berpikir tentang sebuah fakta secara Islami. Kita semakin kritis, enggak
mau hanya menjadi “tong sampah” atau “kambing congek” dalam menhadapi sebuah
problema.
sebuah
fakta yang kita pahami dengan Islam sebagai filternya akan jelas dan terang output-nya,
benar atau salah, bukan setengah benar atau setengah salah. Karena dalam Islam
enggak ada yang setengah-setengah.
b.
Mengasah
Sikap Islami
Untuk
punya nafsiyah Islamiyah atau mampu untuk terus bersikap secara Islami,
caranya tidak lain dan tidak bukan dengan bertaqarrub Illahi (beendekatkan
diri pada Allah). Kita mengerjakan amal yang bisa membuat kita semakin dekat
denagn Allah. Ya, pastinya kalau ingin dengan Allah, amalnya harus sesuai
dengan keinginan Allah, dong. Contohnya: shalat wajibmaupun sunnah, sedekah,
membantu anak yatim, membaca Al-Qur’an, mengeluarkan zakat, puasa, belajat
Islam, atau bentuk ketaatan lainnya.
Terus,
jangan dekat-dekat dengan perbuatan yang dilarang Allah. Sekali dekat,
pengennya berbuat. Wah, bisa berabe urusannya. Kita akan semakin sulit untuk
dekat dengan Allah. Kalau enggak dekat gimana kita bisa punya pola sikap yang
mantap?
Intinya,
sih, bersikap Islami ini akan semakin terasah seiring dengan semakin
konsistennya kita menyelaraskan setiap perbuatan kita denagn Islam.
Rasulullah
saw. Bersabda,
“Tidaklah
beriman salah seorang diantara kalian, hingga dia menjadikan hawa nafsunya
mengikuti apa (Islam) yang kubawa.” (HR.
An-Nawawi)
Rasulullah
saw. Bersabda dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman,
“Dan
tiada bertaqarrub (mendekat) kepada-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih
Kusukai daripada menjalankan kewajibannya. Dan tidak ada henti-hentinya seorang
hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan sunnah-sunnah nafilah,
sehingga Aku mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku akan menjadi
pendengarannya yang dia mendengar dengannya dan Aku akan menjadi penglihatannya
yang dia melihat dengannya, dan Aku akan menjadi tangannya yang dia pergunakan,
dan Aku akan menjadi tangannya yang dia pergunakan, dan Aku akan menjadi
kakinya yang dia berjalan dengannya.” (HR
Bukhari)
Indah
banget, ya, kalau kita bisa begitu. Nah, untuk menuju ke sana yang memang tidak
mudah, perlu kebulatan tekad untuk memulainya. Banyak kok, orang yang sudah
berhasil. Lihat sejkeliling kita, mereka manusia, dan kita juga manusia. Mereka
makan, minum, dan tidur. Kita pun melakukan hal yang sama. Kalau meeka bisa
menjadi sosok dengan kepribadian menawan, kepribadian Islam, lalau kenapa kita
harus rela ketinggalan?
Manusia Istimewa = Berkepribadian mulia tapi Bukan Malaikat
Manusia
berkepribadian Islami adalah seseorang yang berkepribadian mulia. Orang yang
berkepribadian mulia pastinya adalah orang yang istimewa. Cuma yang perlu kita
inget, seseorang yang berkepribadian istimewa bukan berarti orang yang suci
dari dosa, yang sempurna, enggak pernah berbuat salah.
Kita
tahu persis manusia enggaka ada yang sempurna, pasti ada aja salahnya.
Jadi,
salah besar kalau ada yang menganggap laki-laki/perempuan yang alim itu
malaikat. Dia enggak boleh salah, enggak boleh khilaf. Sekali salah, kayaknya
seisi dunia enggak pantes lagi buat dia. Ya enggak, dong.
Kita
pasti pernah berbuat salah. Sering malah. Cuma satu hal yang membedakan.
Manusia dengan kepribadian istimewa dengan yang belum. Manusia tipe begini akan
langsung sujud tobat ketika sadar berbuat salah. Enggak bakal deh dia tahan
atau bahkan merasa nyaman berlama-lama dalam kesalahan. Maunya Istighfar terus
dan memperbaiki diri dari hari ke hari.
Manusia
tipe begini akan lebih memilih untuk sering-sering kumpul di lingkungan yang
memberikan pencerahan dan penyegaran bagi kondisi keimanan, sehingga bisa terus
menjaga kualitas kepribadian berada dalam level prima. Tapi, bukan berarti dia
kuper dan menjadi sosok yang eksklusif. Enggak. Dia tidak menghindar untuk
berinteraksi dengan lingkungan yang lain. Dia bahkan berusaha untuk menjadi
teladan bagi yang lain. Tentunya bukan karena ingin disanjung, tapi lebih
karena semata-mata menjalankan titah Allah SWT dan Radul-Nya.
Bahagia
pastinya kalau kita punya sahabat yang seperti itu, yang bisa menjadi teladan
buat kita, yang menjadi penerang bagi jalan hidup kita. Lebih bahagia lagi, kalau
kita bisa seperti dia, bisa ikut berperan mempersembahkan secercah cahaya bagi
kehidupan mauisia, dari yang terdekat sampai ke belahan dunia lainnya.
Khayalan?
Bukan. Islam sudah ada di tangan, tinggal kita yang tentukan akan ke arah mana
kehidupan ini akan kita jalankan. Apakah kita memilih untuk rela Islam mengubah
kita menjadi sosok manusia berkepribadian mulia atau memilih untuk tetap
menjadi Muslim dan Muslimah cantik, tampan dan pintar tapi berkepribadian yang
minim warna iman?
Pilihan
terbuka buat kita semua. Jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang masih
tersisa. Tentunya kita enggak mau kehilangan kesempatan berharga untuk menjadi
manusia berkepribadian mulia, menjadi manusia yang istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar